Tidak terbayang rasanya jika di perumahan kita tidak ada petugas sampah. Meski tampaknya hanya mengangkut sampah dari setiap bak sampah di rumah kita, ada fakta lain di balik pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang ini. Honor mereka tak memadai dan tak punya perlindungan keselamatan.
Usep (42 tahun), petugas pengumpul sampah di RW 02 Kelurahan Neglasari, Kota Bandung misalnya. Sudah dua tahun belakangan kegiatan pergi pagi pulang sore dilakukan Usep menjalankan tugasnya berupa mengangkut sampah di perumahan.
Bagi Usep, lalat dan belatung yang menguar di balik tumpukan limbah pangan yang umumnya dianggap kotor itu menjadi pemandangan biasa sehari-harinya.
“Saya bekerja mulai dari jam 8 pagi, pulang jam 4 sore. Kerjanya minggu pertama Senin, Rabu, dan Jumat. Minggu berikutnya, Selasa, Kamis, Sabtu,” kata Usep kepada tim YPBB beberapa waktu lalu.
Usep mengaku tak punya pilihan bekerja di tempat lain. Ia pun akhirnya menggeluti profesi ini dengan mengelola sampah yang dibuang rumah tangga, diangkut, kemudian diantarkan ke mobil truk pengangkut sampah.
Usep bercerita bahwa saat ini ia mensyukuri pekerjaannya sebagai pengangkut sampah. Untuk mendapatkan penghasilan, ia harus giat mengantarkan sampah dari rumah warga ke truk pengangkut yang bermuara di Tempat Pembuangan Sementara (TPS).
“Pas begitu waktu bayaran punya uang, itu senangnya. Tapi setelah uangnya sudah habis, kerja lagi dan nunggu-nunggu bulan depannya lagi itu dukanya,” ujarnya.
Usep sudah khatam dengan apa yang ditekuninya. Ia tak bisa sembarangan membuka sampah dari bungkusnya sebab bisa-bisa tangan atau kaki bisa terluka.
“Sering tangan saya kena beling atau ada benda tajam,” ucapnya.
Kalau sudah begitu, Usep buru-buru membersihkan luka dan mengobatinya dengan perlengkapan P3K ala kadarnya di rumah. Pernah suatu hari, tangan Usep tertusuk tusukan sate yang dibuang warga tanpa memberi tahu bahwa di dalam kantong sampah tersebut ada benda tajam berupa tusukan sate. Hingga akhirnya ia harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka berat.
Bolak-balik terluka akibat potongan kaca, bening dan benda tajam lainnya tak lantas membuat Usep kapok bekerja mengelola sampah. Ia hanya berpesan dan meminta tolong kepada masyarakat agar membantu mengurangi risiko petugas pemilah sampah mengalami luka saat bekerja.
“Saya sudah tiga kali dioperasi (karena kena tusukan sate dan beling). Jadi, kalau warga buang sampah itu tolong dipilah dulu dan diberitahu ke petugasnya,” tuturnya.
Bagaimanapun risiko pekerjaan yang didapat oleh Usep, ia tetap senang dengan pekerjaannya. Ia juga tidak terpikirkan untuk bekerja di tempat lain.
Usep mendapatkan gaji Rp1,2 juta tiap bulannya. Tapi, gaji itu juga digunakan untuk perawatan kendaraan motor pengangkut yang biasa ia gunakan bekerja.
“Tidak gede, cuma saya ganti oli beli bensin perawatan,” katanya.
Risiko yang harus dihadapi oleh petugas pengumpul sampah ternyata masih belum sebanding dengan upah yang diterima. Rendahnya upah yang diterima ditambah belum adanya jaminan kesehatan menjadi salah satu hal yang harus menjadi perhatian kita terutama pemerintah.
Hal itu dirasakan Wartikah (53), pengangkut sampah wanita asal Desa Cingcin, Kota/Kabupaten Bandung. Wartikah sudah biasa bekerja memungut sampah di daerahnya sejak pukul 7 pagi.
“Selesainya kadang jam 10 pagi kalau mobilnya lancar. Tapi bisa jadi jam 4 atau jam 5 sore,” ujarnya.
Dalam seminggu, Wartikah bekerja setiap Selasa dan Sabtu. Selama lima tahun bekerja mengangkut sampah, ia mendapatkan upah Rp400 ribu per bulan.
“Sebulan Rp400 ribu. Uangnya dari warga dipungut sama RT. Cuma jumlah (pungutannya) tidak dibatas, sukarela saja. Ke saya tiap bulan dapatnya Rp400 ribu,” katanya.
Dengan upah tersebut, risiko yang dihadapi Wartikah sama dengan Usep. Beberapa kali ia temukan masih ada warga yang membuang sampah berisi beling dan tusuk sate.
“Sudah sering nemu beling atau bekas tusuk sate. Ada warga yang kasih tahu ada juga yang enggak. Pecahan kaca pernah kena karena yang buangnya tidak bilang. Jadi kalau ke mobil pengangkut juga saya sampaikan kalau ada beling atau tusuk sate,” tuturnya.
Pengangkut sampah seperti Wartikah juga tidak dilengkapi alat pelindung diri (APD). Namun, belum lama ini ia mendapatkan bantuan berupa APD yang melindunginya saat bekerja.
“Fasilitasnya sudah diberi YPBB. Sekarang ada sepatu, sarung tangan, masker, dan sabun pencuci tangan,” ucapnya.
Saban bekerja sebagai pemungut sampah, Wartikah mengaku tak pernah lelah. Ia merasakan banyak manfaat tak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk warga lain.
“Harapannya mudah-mudahan lancar, ibu sehat. Kalau ibu berhenti juga ada yang meneruskan. Soalnya sudah enak, sudah ada yang menarik sampah. Jadi buang sampah enggak ke mana,” ucapnya.
Saat ini petugas pengumpul sampah di Bandung maupun di daerah lain di Indonesia masih dianggap pekerja informal. Kondisi ini tidak memungkinkan para pengumpul sampah mencapai standar kerja yang cukup, termasuk standar keselamatannya.
Padahal, jika merujuk pada Pasal 6 UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa salah satu tugas pemerintah dan pemerintah daerah adalah melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah.
Prasarana yang dimaksud artinya, menerapkan kebijakan yang dapat memastikan kesejahteraan para petugas ini. Begitu pula pada Pasal 7 ayat 1 PP No 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Disebutkan bahwa pemilahan sampah dilakukan setiap orang, pengelola kawasan, dan pemerintah kabupaten/kota.
Beberapa kasus pernah terjadi di Bandung Raya akibat minimnya kepedulian terhadap kesehatan petugas pengumpul sampah. Pada 2018, ada almarhum Hermawan yang meninggal akibat luka terkena tusukan sate yang dibuang dan bercampur dengan sampah lainnya.
Selain itu, ada mang Udin, petugas sampah RW 09 Kelurahan Sukaluyu, Kota Bandung, pernah beberapa kali terluka akibat sampah tusuk sate dan jatuh sakit karena paparan aroma sampah tercampur. Ada juga mang Kosasih, Petugas Pengumpul Sampah RW 07 Kelurahan Padasuka, Kota Cimahi, yang sempat pincang akibat terkena tusuk sate.
Dari kasus tersebut, bisa kita ketahui bahwa perlengkapan yang masih minim seperti sepatu boots dan masker diperlukan oleh petugas pengumpul sampah dalam menghindari resiko yang mereka hadapi.
Sudah jadi gambaran umum warga Kota Bandung membuang sampah dengan cara merekrut petugas pengumpul sampah melalui Rukun Warga (RW) dengan gaji yang kecil. Biasanya di bawah upah minimum regional.
Peran yang diambil oleh petugas pengumpul sampah sangat penting. Dengan adanya program Zero Waste Cities, petugas pengumpul sampah mulai menerapkan sistem pengelolaan sampah secara terpilah di kawasan RW.
Mereka pun mengalami perubahan cara kerja. Sebelumnya mereka hanya mengambil sampah tercampur dari rumah dan mengangkutnya ke TPS, sekarang petugas diajak untuk memastikan sampah yang dikumpulkan warga sudah terpilah agar lebih mudah diolah kembali.
Untuk mewujudkan Zero Waste Cities, semua pihak, pemerintah, masyarakat dan juga petugas sampah sama-sama perlu memastikan sampah terkelola dengan baik. Cara sederhana yang dapat dilakukan yaitu dengan memisah sampah sejak dari rumah dan mengomposnya.
Cerita perjalanan keseharian petugas sampah bisa anda simak dengan cara klik tulisan ini.***
Bagi sebagian orang, membawa botol minum guna ulang atau yang dikenal dengan tumbler merupakan hal yang merepotkan. Selain menambah beban dalam tas, membawa tumbler juga memerlukan
Sampah sisa makanan masih mendominasi komposisi timbulan sampah di Indonesia . Bahkan sering langganan ranking tinggi dalam wasting most food secara internasional. Sampah sisa makanan
Grafik komposisi sampah: https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/ (4 Februari 2024) Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di atas, sisa makanan masih merajai komposisi sampah di Indonesia. Rumah
Kamis, 25 Januari 2024 Situasi krisis sampah yang terjadi pasca kebakaran Tempat Pembuangan dan Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS) Sarimukti pada bulan Agustus 2023, menjadi momentum
Halo Sobat Organis! Polusi udara menjadi salah satu masalah serius yang mengancam kesehatan manusia dan lingkungan kita. Menurut data terbaru, polusi udara merupakan salah satu faktor
Tanggal 5 Juni 2023 merupakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Hari tersebut ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Penetapan tersebut agar dapat meningkatkan kesadaran dan
Idul Adha merupakan salah satu momen penting yang kerap kali dirayakan oleh seluruh umat muslim di dunia. Sehingga euforia perayaan Idul Adha juga, tentunya juga dirasakan
Membawa botol minuman sendiri, atau yang kerap disebut tumbler saat ini menjadi sebuah tantangan. Walaupun saat ini beberapa orang memulai habit baru dengan membawa tumbler kemanapun
Udah pada tau belum sobat organis, Bandung Raya lagi-lagi mengalami darurat sampah. Terjadinya krisis tersebut membuat YPBB di tahun ini tidak melakukan acara apapun untuk memperingati
(Dokumentasi : Kegiatan Waste Analysis and Characterization Study (WACS) dan Brand Audit (BA). Kegiatan berada di kawasan berpengelola Kota Cimahi 2022 bersama staf dan relawan YPBB)
Tidak banyak yang tahu bahwa 26 November diperingati sebagai Hari Tanpa Belanja. Hari Tanpa Belanja bertujuan untuk memberikan kesadaran masyarakat agar mereka lebih peka terhadap apa