Peringatan Hari Kesehatan Internasional yang ditetapkan setiap tanggal 7 April mengandung pesan mendalam, apalagi perayaannya bertepatan dengan meluasnya pandemi COVID-19. Hal tersebut mengingatkan kita bahwa kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tenaga medis seperti dokter, perawat, hingga bidan adalah segelintir peran kunci dibalik tingginya kesehatan masyarakat.
Ketika berbicara tentang kesehatan, kondisi lingkungan memegang pengaruh besar terhadap kesehatan masyarakat. Seperti yang kita ketahui, kondisi lingkungan saat ini mulai memburuk seiring dengan munculnya polusi, salah satunya polusi plastik. Gaya hidup Zero Wasteatau yang biasa dikenal dengan gaya hidup minim sampah, merupakan solusi pilihan masyarakat untuk mengembalikan kondisi lingkungan yang memburuk dari polusi plastik. Menariknya, gaya hidup Zero Waste juga menarik hati para tenaga kesehatan, seperti bidan dan perawat.
Di kesempatan ini, kami telah mewawancarai beberapa tenaga medis seputar penerapan gaya hidup Zero Waste di kehidupan sehari-hari. Kami mewawancarai Lita, Dewi, dan Ikka yang berprofesi sebagai bidan, serta Tita yang berprofesi sebagai perawat.
Lita, Ikka, dan Dewi telah menerapkan hidup Zero Waste dalam keseharian mereka, dan bisa menjadi inspirasi untuk kita. Bagi Lita dan Ikka, alasan utama memulai Zero Waste yaitu akibat dari kekhawatiran akan banyaknya sampah yang terangkut ke TPA. Lain halnya bagi Dewi dan Tita, mereka mengaku khawatir dengan beban pengumpul sampah jika sampah semakin banyak, sehingga ia mulai memilah.
Metode pemilahan yang mereka lakukan sangat beragam, dari mulai pemilahan sederhana antara organik dengan anorganik, hingga memilah sampai lebih lebih detail. Sebagai contoh, Lita memilah sampahnya menjadi 5 jenis. Pemisahan terdiri dari 1 wadah organik, 1 wadah kertas & kardus, 1 wadah sampah daur ulang, 1 wadah sampah B3, dan 1 wadah sampah residu.
Untuk menangani sampah organik para bidan inspiratif ini menggunakan beberapa metode yang dapat diterapkan di rumah masing-masing. Dewi awalnya menggunakan lubang biopori hingga akhirnya memutuskan untuk membuat lubang kompos karena semakin banyaknya sampah organik yang dihasilkan di rumahnya. Berbeda dengan Dewi, Tita memilih bata terawang untuk mengelola sampah organik di rumahnya. Variasi lebih banyak dilakukan oleh Lita untuk urusan mengompos, yaitu menggunakan keranjang takakura, biopori dan gerabah.