Tribute for Prof. Otto Soemarwoto dalam NGOBRASS, DPKLTS Indonesia, 27 Desember 2010
Hujan telah reda ketika kami sampai di markas Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Indonesia, yang tergeletak di Jl. Riau 189a, Bandung. Angin sejuk sore berbalut alunan balada dari teman-teman Komunitas Penyanyi Jalanan yang banyak menyoal ketidakadilan sosial, komodifikasi pendidikan yang mendiskriminasi orang-orang miskin, dan lain sebagainya. Segera setelah bertukar sapa dan salam dengan teman-teman yang sudah hadir lebih dulu, kami mulai mencari spot PW (posisi wuenak). Biasanya dalam dalam berbagai forum seperti ini, spot yang menjadi idola adalah ketika kita bisa luput dari perhatian, sambil tetap bisa memerhatikan gerak-gerik di sekitar.
Sejurus kemudian, datanglah bandrek panas yang disuguhkan dalam mug batok kelapa, dan sepotong brownis kukus sebagai pengiring kata sambutan dari Sobirin sebagai ketua DPKLTS Indonesia. Di jurus selanjutnya, hiduplah kembali sosok Otto Somarwoto, sosok yang telah banyak memberi kami ilmu yang berguna, ilmu yang dapat diaplikasikan dalam keseharian, untuk membuat kualitas kehidupan manusia semakin baik, selaras dengan lingkungan alam. Lalu pada pada tiga, empat, lima dan enam jurus selanjutnya, kami mendudukannya dan mulai bercakap-cakap.Kami semua merasa kehilangan, namun Otto masih hidup, semangatnya tak akan pernah mati.
Selain untuk mengenang jasa dan melestarikan pemikiran Otto yang komprehensif dengan permasalahan lingkungan yang kita hadapi sekarang, Sobirin mengurai, pertemuan ini juga diadakan untuk menggali dan mengembangkan pemikiran Otto untuk mengantisipasi permasalahan lingkungan yang akan datang – agar tak lekas nyata.
Bagi penulis, perkenalan dengan Pak Otto yang relatif singkatlah, yang membuat penulis bertekad untuk terjun ke dalam dunia lingkungan. Meski pada awalnya ragu karena pengetahuan lingkungan yang terbatas dan (karenanya memiliki) kemampuan mengaktualisasikan yang masih sangat terbatas pula, dan karena pada saat itu pergerakan lingkungan – tanpa memandang sebelah mata – masih sangat kental dengan aksi demonstrasi turun ke jalanan dengan membawa spanduk dan yel-yel hak atas lingkungan yang lebih baik, saya merasa bahwa saya bukan bagian dari pergerakan lingkungan. Tapi Pak Otto bicara lain, bagi beliau masa depan manusia yang sangat tergantung kapada kondisi lingkungan alam akan tidak melulu ditentukan oleh teori yang rumit, pengetahuan yang canggih, atau seringnya turun ke jalan membawa spanduk, namun lebih ke perilaku sederhana yang teguh dan konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang membuat saya – dan saya yakin semua orang dengan pikiran sehat – seharusnya merasa menjadi bagian dari solusi permasalahan lingkungan. Karena semua orang bisa.
Beberapa diantara yang hadir memang ada yang tidak punya kesempatan mengenal Otto secara langsung, melainkan lewat beberapa buah pemikirannya yang dituangkan dalam bentuk tulisan, baik itu berupa artikel dan liputan di media massa, maupun melalui buku karangannya. Bagi Ibu Maria, salah seorang penggiat lingkungan di DPKLTS yang sehari-hari lebih akrab dengan panggilan “Bunda”, perkenalannya dengan Otto dimulai ketika ia membaca artikel Otto mengenai pentingnya kita menghargai pohon dan mengolah sampah sendiri. Menurut Bunda, jika saja kita semua mau mendengar, membaca dan mempelajari buah pikiran Otto, sebenarnya kita tak usah pusing dengan masalah sampah yang akhir-akhir ini semakin meruncing dengan isu pentupan TPA Sarimukti dan polemik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). “Pak Otto sudah berusaha untuk memberikan solusi yang sangat real, tapi kenapa pemerintah kita, terutama DPRD Kota Bandung tak mau mendengarnya, dan bahkan memperlakukannya secara kasar? Mengapa ketika pusat dan dunia internasional sangat menghargai keilmuan dan kepakaran Pak Otto, tapi pemerintah kita sendiri tak bisa!?” Kesah Bunda.
Lain lagi dengan Anil, salah seorang penggiat lingkungan dari Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) yang hadir pada sore itu, meski tak sempat bertemu langsung, ataupun membaca tulisannya sekalipun, Anil banyak sekali mendengar sosok Otto dari teman-teman sesama penggiat lingkungan, hal itulah yang motivasinya untuk datang ke acara NGOBRASS ini, ia ingin mengenal sosok Otto lebih jauh. Menurut Anil, kebanyakan orang Indonesia memang akan susah kalau hanya diberi teori, maka dari itu contoh perilaku nyata seperti yang dipraktekan Pak Otto (seharusnya) akan lebih dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Hal lain yang coba ditekankan oleh Anil adalah pentingnya kita membahas profil orang-orang yang sudah berkontribusi besar terhadap lingkungan. Dengan begitu diharapkan ilmu dan pengetahuan profil tersebut akan semakin mudah diadopsi oleh orang banyak, dan dampaknya ke perbaikan lingkungan akan semakin nyata.
Sesekali fokus diskusi melebar dari pembahasan mengenai pemikiran Otto, dari mulai pembahasan mengenai permasalahan transportasi kota Bandung yang semakin pelik, hingga pembahasan mengenai solusinya. Untunglah Sobirin sebagai moderator dengan lihai dapat mencegat arah diskusi yang sudah mulai keluar jalur, lalu menggiringnya, kembali ke masalah utama.
Di sini penulis sempat tercenung, sebenarnya yang diajarkan oleh Pak Otto kepada kita mengenai permasalahan lingkungan hidup adalah pentingnya perubahan perilaku, dengan kata lain, paradigma atau cara berpikir kitalah yang menjadi sumber dari berbagai masalah yang kita hadapi sekarang ini. Dari situ tentu kita membutuhkan jurus baru untuk menjawab pertanyaan: apakah kita telah berusaha untuk memahami segala permasalahan ini dari sudut pandang, cara berpikir, dan – yang terpenting – paradigma yang tepat?
Hampir semua yang hadir di sana mengisahkan pengalamannya berkenalan dengan Otto, baik secara langsung, melalui karya-karyanya, ataupun hanya mendengar kisah dari orang lain. Dari semua kisah itu, terdapat sebuah kesamaan memori tentang Otto, bahwa sejatinya dia adalah manusia yang sederhana. Meski menyandang gelar sebagai seorang guru besar universitas terkemuka di negeri ini, meski masyarakat internasional telah menasbihkannnya sebagai seorang pakar di bidang lingkungan hidup, tetap saja, tautan kalimat Otto yang sarat akan ilmu masih bisa berdialog dengan masyarakat luas dengan leluasa. Otto tidak ingin terlihat pintar dengan merumitkan kalimat terhadap permasalahan sederhana, Otto hanya ingin jujur.
Pada sesi konklusi, Sobirin mengisahkan pengalaman unik lainnya bersama Otto yang sampai saat ini masih membuatnya tersenyum, terhenyak, lalu tertawa sepi. “Pada suatu waktu,” katanya “Ketika saya bersama teman-teman datang berkunjung ke rumah Otto untuk mengabarkan kawasan hutan lindung yang ditetapkan di Jawa Barat adalah sebesar 45%, yang saya harap waktu itu respon dari beliau adalah rasa bangga atau senang, atau memuji-muji, atau apapun… Tapi pada saat itu responnya sungguh diluar dugaan, beliau hanya berkata datar ‘Buat apa angka yang 45% itu? yang harus dirubah sebenarnya adalah perilaku kita, percuma saja segala program reboisasi kalau perilaku kita tidak berubah’ “
Sobirin lalu berkali-kali menekankan pentingnya memiliki visi bersama, dengan perencanaan paripurna bersama, dan satu tekad kuat bersama untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang ada di Kota Bandung. Hal ini mengingatkan penulis akan pesan yang didapat dari perilaku yang dicontohkan Otto: lebih baik semakin banyak orang yang konsisten mempraktekan hal sederhana yang nyata terhadap kondisi lingkungan, daripada semakin banyak orang pintar yang mengaku peduli lingkungan tapi pada kenyataan, perilakunya jauh dari yang dia katakan.
Langit berubah jingga. Cahaya lampu berkuasa. Pertanda bagi kami untuk segera menyudahi acara ini. Meski terlalu singkat, kami pulang dengan sebuah keyakinan baru, semakin banyak alasan untuk terus berjuang, membuka waktu, memberi kesempatan kepada generasi penerus untuk menikmati hidup tanpa harus merusak kehidupan yang lain. Otto boleh tiada bersama kami lagi saat ini, namun semangatnya akan terus menggaung kian kencang, merasuk dan menjelma, mengakar dan memberi harapan.
Pada suatu sore saya melihat Otto sedang duduk santai bersama Chairil Anwar yang lalu terdengar berkata lantang “Dan aku semakin tak peduli, Aku ingin hidup. Seribu tahun lagi!” Otto mendesah resah, tersenyum sambil berkata lirih “Tak usah terlalu ambisiuslah… wong Bumi juga sudah semakin hancur seperti ini” Saya membayangkan Chairil Anwar tidak akan pernah membuat puisi monumentalnya kalau ia sempat bertemu Otto. Tidak sebelum Otto mengajaknya untuk memastikan bumi akan ada lebih dari seribu tahun lagi! (q|12|2010)