Pengumpul sampah merupakan salah satu pekerja paling penting dalam sistem pengelolaan sampah kita. Di tengah tingginya volume sampah, bahaya bahan-bahan kimia yang bercampur dalam timbulan sampah, serta virus Covid-19 yang masih merajalela, para pengumpul sampah terpapar resiko kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang sangat tinggi.
Tak hanya itu, para pengumpul sampah biasanya bekerja secara informal tanpa kontrak atau jaminan kesejahteraan yang jelas. Ada yang dipekerjakan secara tetap oleh RW/kolektif, atau pun dibayar oleh masing-masing rumah tangga pelanggan.
Banyak pula yang mesti memulung dan menjual sampah terlebih dahulu untuk mendapat uang. Lokasi kerja mereka pun beragam, mulai dari permukiman, jalanan, hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan pekerjaan yang sangat penting, berat dan beresiko.
Banyak pekerja pengumpul sampah belum mendapatkan upah layak. Bahkan di kota besar seperti Bandung, masih banyak ditemui pekerja pengumpul sampah yang digaji Rp 300.000 – 400.000,- per bulan untuk mengumpulkan sampah 1 RW.
Agenda ramah lingkungan–seperti program pemilahan sampah dan Alternative Delivery System (ADS)–ternyata dapat menjadi agenda yang ramah pekerja juga, termasuk pekerja pengumpul sampah.
Dalam program pengumpulan sampah terpilah Zero Waste Cities yang dilakukan di Filipina dan Indonesia, LSM, warga lokal dan pemerintah bekerjasama untuk membangun tata kelola sampah yang lebih menyeluruh dan ramah lingkungan.
Melalui program ini, warga lokal dilatih untuk memilah sampah organik, anorganik, serta bahan berbahaya dan beracun (B3) di tingkat rumah tangga. Pasalnya percampuran antara kedua jenis sampah inilah yang seringkali menghasilkan reaksi kimia yang dapat membahayakan kesehatan kita, apalagi pekerja pengumpul sampah.
Selain itu, program ini menitikberatkan pelibatan pekerja pengumpul sampah. Mereka diikutsertakan dalam pelatihan pengangkutan sampah secara terpilah, juga mendapat sosialisasi mengenai upah layak serta aspek K3.
Berdasarkan catatan YPBB di Kelurahan Sekeloa, Kota Bandung, banyak pekerja pengumpul sampah merasa terbantu dengan adanya pemilahan sampah dari warga. Pekerja pengumpul mengangkut sampah organik yang sudah dipilah dan mengolahnya dalam lubang kompos dan biodigester.
Di beberapa RW, para pekerja pengumpul juga menyalurkan sampah organik ke kelompok Karang Taruna dan PKK yang hobi membuat pupuk. Setelah melihat dampak positif program ZWC, beberapa kelurahan bersedia untuk mengalokasikan anggaran RW untuk dana :
1. pelatihan dan insentif bagi petugas pengumpul.
2. pembuatan infrastruktur pengolahan sampah organik.
Dukungan dan kerjasama dari pekerja pengumpul sampah menjadi faktor penting yang mempengaruhi tingkat ketaatan tiap RW dalam pemilahan.
Adanya janji insentif tambahan dari pemerintah kota menjadi motivasi yang menarik bagi pekerja pengumpul, meskipun aspek ini perlu didukung oleh kelembagaan dan pendanaan yang berkelanjutan.
Sementara itu, Alternative Delivery System (ADS) dapat menjadi pelengkap dalam tata kelola persampahan tersebut. Jika ZWC mengurus permasalahan di hilir, ADS menekankan pengurangan sampah sedari hulu.
Pengurangan penggunaan kemasan plastik, sachet, tetrapak yang mengandung bahan-bahan berbahaya dapat menghindarkan pekerja pengumpul sampah dari paparan dan resiko gangguan kesehatan.
Selain itu, volume sampah yang dihasilkan dapat menurun, sehingga beban kerja pun semakin ringan. Hal ini dapat mendukung transisi ke pekerjaan-pekerjaan yang lebih ramah lingkungan, misalnya mengelola sentra daur ulang, melakukan pengantaran produk, mengelola pupuk organik, ataupun membangun kebun pangan komunitas.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut tentunya dapat meningkatkan kualitas hidup para pekerja pengumpul sampah dan komunitas tempat mereka bekerja.
Transisi menuju kehidupan yang lebih ramah lingkungan memang tak mudah, namun bukan tak mungkin. Pelibatan pekerja pengumpul sampah dalam agenda alternatif perlu terus menerus diupayakan, karena mereka adalah mata rantai penting dalam pengelolaan sumber daya kita.
Tahukah sobat organis, setiap harinya dalam satu rumah tangga di Kota Bandung diperkirakan rata-rata menghasilkan sekitar 14-16 lembar sampah kemasan dari berbagai produk. Dengan menggunakan
Pada tanggal 31 Oktober – 12 November 2021 lalu, para pemimpin dunia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang perubahan iklim dalam Conference Of Parties (COP) tahunan.
Tulisan ini merupakan bagian dari serial kampanye Alternative Delivery System (ADS) yang digalang secara kolaboratif oleh YPBB dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Perubahan perilaku
Krisis sampah kemasan masih menjadi masalah utama dalam pengelolaan lingkungan hidup kita. Sebagian besar sampah kemasan diproduksi dengan material tak terurai dan berlapis-lapis, sehingga tak
Tulisan ini merupakan bagian dari serial kampanye Alternative Delivery System (ADS) yang digalang secara kolaboratif oleh YPBB dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Krisis lingkungan