Pada tanggal 31 Oktober – 12 November 2021 lalu, para pemimpin dunia menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang perubahan iklim dalam Conference Of Parties (COP) tahunan. Akibat pandemi Covid-19, COP tahun 2020 tidak dapat dilaksanakan, sehingga COP 2021 menjadi pertemuan ke-26 (COP26). COP sendiri berawal dari diadopsinya Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) sejak Rio Earth Summit 1992. Melalui UNFCCC, 197 negara PBB bersepakat mengendalikan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Artinya, mereka berjanji untuk mencegah segala kebijakan dan aktivitas yang dapat berakibat buruk terhadap kesesuaian iklim, keragaman hayati, dan keberlanjutan ekosistem.
Pada 1997, Protokol Kyoto menjadi perpanjangan UNFCCC, di mana negara-negara yang meratifikasi berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lain, menetapkan batas produksi emisi per negara, serta membentuk skema perdagangan emisi. Selanjutnya pada Perjanjian Paris 2015, negara di dunia sepakat membatasi pemanasan global tidak melebihi 2 derajat Celcius (dengan patokan ideal 1,5 derajat Celcius), serta meningkatkan pendanaan aksi iklim. COP26 direncanakan untuk menyelesaikan “Paris Rulebook” atau aturan yang diperlukan untuk mengimplementasikan Perjanjian Paris (ICCTF, 4 November 2021).
Persetujuan COP26 (walau tidak mengikat secara hukum) dimaksudkan sebagai agenda global bersama untuk sepuluh tahun ke depan. Agenda-agenda tersebut antara lain:
Selain agenda-agenda utama tersebut, banyak hal lain turut diwacanakan, seperti perjanjian antara AS dan Cina untuk lebih bekerjasama dalam transisi energi bersih dan pengendalian emisi metan, janji lebih dari 100 pemimpin negara dengan wilayah hutan luas untuk menghentikan deforestasi per 2030, skema untuk memotong 30% emisi metan, dan janji organisasi keuangan untuk mengalihkan dana dari industri berbasis bahan bakar fosil kepada proyek-proyek energi bersih. Tanpa adanya aturan yang mengikat secara legal, banyak organisasi dan pemerhati isu lingkungan yang kritis memandang bahwa agenda-agenda COP26 hanya sekedar janji kosong yang susah dikontrol pemenuhannya. Para pejabat yang berduyun-duyun ke tempat konferensi di Glasgow dengan pesawat terbang juga dinilai malah memperparah emisi karbon. (BBC News, 15 November 2021)
Terpinggirkannya masalah sampah dalam COP26
Dalam skala global, 1 dari 3 orang tidak punya akses ke layanan pengelolaan sampah, sehingga mereka membakar sampah atau membuangnya di sekitar hunian. Apalagi di masa pandemi jumlah sampah (terutama sampah medis) mengalami peningkatan. Pembakaran sampah menjadi penghasil karbon hitam, CO2, CO, dan gas-gas berbahaya lain seperti dioksin dan furan. Secara akumulatif, pembuangan dan pembakaran sampah di tempat terbuka di negara-negara berpendapatan rendah – menengah berkontribusi pada 10% emisi global. Jumlah ini dua kali lipat dari emisi industri penerbangan. Emisi gas-gas ini turut menyebabkan krisis iklim. Karbon hitam, dioksin, dan furan juga menyebabkan dampak kesehatan yang buruk bagi manusia dan hewan, seperti kanker. Setiap tahun, sembilan juta orang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan sampah dan polusi. Polusi dari penimbunan terbuka dan pembakaran sampah juga amat berbahaya bagi anak-anak, karena menghambat tumbuh-kembang fisik dan mental mereka.
Tata kelola persampahan yang lebih berkelanjutan semakin banyak bermunculan belakangan untuk merespon permasalahan. Selain mengurangi emisi, tata kelola sampah juga memainkan peran penting dalam mewujudkan ketahanan dan keadilan iklim. Negara-negara dengan manajemen sampah yang buruk adalah yang paling rentan terkena bencana iklim. Kebakaran hutan, banjir bandang, dan penyebaran penyakit sering terjadi di negara-negara ini. Kebakaran hutan dan banjir bandang dapat dikurangi salah satunya dengan pengurangan pembakaran dan pembuangan sampah di area terbuka. Penyakit pun bisa dicegah jika kebersihan wilayah terjaga, di mana air, udara, dan rantai makanan bebas zat beracun dan polusi. (WasteAid, 2021)
Namun, tata kelola sampah ini seringkali luput dan kurang mendapatkan perhatian dalam agenda pembicaraan banyak konferensi iklim, termasuk COP26. Seperti diprotes oleh gerakan Break Free From Plastic (BFFP) dan Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA), Unilever sebagai salah satu pencemar iklim dan plastik terbesar malah mensponsori COP26 dan menjadi mitra PBB. 99% plastik berasal dari bahan bakar fosil, dan perusahaan seperti Unilever berkontribusi besar dalam krisis plastik dan iklim. Akibatnya, tidak ada standar yang mengatur soal timbulan maupun dampak sampah dari COP26. Investasi pendanaan untuk sistem tata kelola sampah yang inklusif pun belum cukup karena isu sampah sering dipinggirkan dan kurang diprioritaskan. Padahal investasi dalam sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan akan sangat berarti bagi banyak kelompok masyarakat terpinggirkan. Masalah dan solusi persampahan pun dapat menjadi titik mula untuk belajar mengenai skema ekonomi sirkular. Sistem ekonomi sirkular inilah yang kini tengah diusung sebagai alternatif sistem ekonomi ekstraktif yang menjadi biang kerok krisis iklim.
Dengan kontribusi emisi dan dampak yang besar, standar global mengenai persampahan mestinya diikutsertakan dalam Nationally Determined Contributions (NDCs), sehingga pengelolaan sampah dapat menarik lebih banyak pendanaan. Untuk memastikan keputusan-keputusan publik bebas dari kepentingan pencemar, COP dan konferensi-konferensi iklim juga seharusnya tidak menerima sponsor perusahaan-perusahaan pencemar dalam pembicaraan mengenai iklim. ***
Pengumpul sampah merupakan salah satu pekerja paling penting dalam sistem pengelolaan sampah kita. Di tengah tingginya volume sampah, bahaya bahan-bahan kimia yang bercampur dalam timbulan
Tulisan ini merupakan bagian dari serial kampanye Alternative Delivery System (ADS) yang digalang secara kolaboratif oleh YPBB dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Perubahan perilaku
Krisis sampah kemasan masih menjadi masalah utama dalam pengelolaan lingkungan hidup kita. Sebagian besar sampah kemasan diproduksi dengan material tak terurai dan berlapis-lapis, sehingga tak
Tulisan ini merupakan bagian dari serial kampanye Alternative Delivery System (ADS) yang digalang secara kolaboratif oleh YPBB dan Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI). Krisis lingkungan